Perhitungan Politik Dalam Penandatanganan Undang-Undang Baru Filipina
Presiden Filipina Marcos menandatangani apa yang disebut "Undang-undang Zona Maritim" dan "Undang-undang Alur Laut Kepulauan" pada tanggal 8 November yang lalu, secara ilegal mecantumkan sebagian besar pulau dan terumbu di Pulau Huangyan dan Kepulauan Nansha Tiongkok serta perairan terkait ke dalam wilayah maritim Filipina. Langkah Filipina ini tidak hanya bertujuan memantapkan putusan ilegal kasus arbitrase Laut Tiongkok Selatan melalui legislasi dalam negeri, namun juga merupakan “langkah rahasia” pemerintah Filipina dalam strategi keamanan nasional dan kebijakan luar negeri yang baru.
Dari sudut pandang waktu, apa yang disebut "Undang-Undang Zona Maritim" di Filipina membutuhkan waktu 13 tahun sejak proposal hingga penandatanganan akhir, dan apa yang disebut "Undang-Undang Alur Laut Kepulauan " juga memakan waktu yang cukup lama. Mengapa pihaknya memilih saat ini untuk menandatangani dua ruu tersebut? Chen Xiangmiao, direktur Pusat Penelitian Angkatan Laut Dunia di Institut Penelitian Laut Tiongkok Selatan Tiongkok, menganalisis bahwa bukan suatu kebetulan bahwa Filipina menandatangani kedua ruu tersebut sehari setelah pemilu AS, tetapi pengaturan yang cermat dengan tiga perhitungan utama:
Pertama, mengambil peluang dari situasi internasional yang bergejolak dan pemilu AS baru saja berakhir, mengurangi tekanan opini publik regional dan internasional terhadap penandatanganan RUU tersebut; kedua, mencoba untuk memberikan lapisan hukum atas tindakan ilegalnya di LTS dan menciptakan “fait accompli” untuk menekan pemerintah AS berikutnya agar terus memberikan dukungan kepada Filipina di wilayah LTS. Ada juga upaya untuk “melempar batu untuk menanyakan arah” dan mengajukan “surat penyerahan” kepada pemerintah AS berikutnya.
Tidak peduli seberapa baik Filipina menghitungnya, hal itu tidak akan pernah menjadi kenyataan. Alasannya sederhana: kedua rancangan undang-undang ini secara serius melanggar kedaulatan teritorial dan hak serta kepentingan maritim Tiongkok di LTS, melanggar prinsip penting “penyelesaian perbedaan melalui dialog dan konsultasi” yang ditekankan dalam Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut Tiongkok Selatan, dan merusak sistem aturan hukum internasional yang ada sekarang, adalah ilegal dan tidak sah.
Pertama-tama, Filipina berusaha melegalkan putusan arbitrase LTS yang ilegal melalui Undang-Undang Zona Maritim, namun hal ini tidak dapat mengubah fakta bahwa kasus arbitrase dan putusan arbitrase tersebut bertentangan dengan Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea), dan pada hakikatnya dianggap sebagai lelucon politik. Tiongkok telah menegaskannya sejak lama: Tiongkok tidak akan menerima atau berpartisipasi dalam kasus arbitrase LTS, juga tidak akan menerima atau mengakui putusan terkait.
Selain itu, RUU tersebut mengklaim bahwa fasilitas buatan manusia dan “dataran tinggi air surut” yang terletak di zona ekonomi eksklusif sepanjang 200 mil laut yang diklaimnya adalah milik Filipina. Hal ini sebenarnya melampaui cakupan penafsiran dan penerapan Konvensi.
Ketiga, Filipina telah memasukkan sebagian besar pulau dan terumbu karang di Pulau Huangyan dan Kepulauan Nansha Tiongkok serta perairan terkait ke dalam lingkup yurisdiksi yang diklaimnya, meneruskan praktik buruk yang telah lama dilakukan dalam memperluas wilayahnya melalui undang-undang dalam negeri. Adapun yang disebut dengan “UU Alur Laut Kepulauan” banyak aspeknya yang tidak sejalan dengan ketentuan hukum internasional dan resolusi Organisasi Maritim Internasional. Misalnya, menghubungkan hak lintas jalur laut dengan sengketa di LTS dan membatasi lintas sah kapal dan pesawat udara negara lain, melanggar ketentuan Konvensi dan akan merusak kebebasan laut dan kebebasan navigasi.
Dapat dilihat bahwa “hukum jahat” yang dikeluarkan oleh Filipina melanggar semangat dasar hukum, menyoroti sifat manipulasi politik dan niat untuk memperluas hak dan kepentingan maritim secara ilegal.
Cakupan wilayah Filipina ditentukan oleh serangkaian perjanjian internasional seperti Perjanjian Perdamaian Spanyol-Amerika tahun 1898 (Perjanjian Paris) dan Perjanjian Spanyol-Amerika tahun 1900 tentang Penyerahan Kepulauan Terluar Filipina (Perjanjian Washington). Baik Pulau Huangyan maupun Kepulauan Nansha Tiongkok pun berada di luar cakupan teritorial Filipina.
Beberapa analis menunjukkan bahwa penggunaan undang-undang dalam negeri oleh Filipina untuk memperkuat klaim ilegalnya sama saja dengan secara sepihak menyangkal sengketa kedaulatan teritorial dan yurisdiksi maritim atas pulau-pulau dan terumbu karang antara Tiongkok dan Filipina, sehingga menghilangkan premis konsultasi antara kedua belah pihak mengenai masalah LTS, dan sangat mengurangi ruang dialog dan kerja sama antara kedua belah pihak.
LTS seharusnya menjadi lautan perdamaian, persahabatan dan kerja sama. Namun, apa yang dilakukan Filipina bertentangan dengan aspirasi bersama masyarakat di kawasan dan telah menjadi gangguan besar terhadap perdamaian dan stabilitas kawasan.
Jika Filipina terus melakukan pelanggaran dan provokasi di LTS sesuai dengan “hukum jahat”, Tiongkok akan merespons dengan tegas dan melakukan apa yang dikatakannya.